Selasa, 07 Oktober 2014

Menjadi Hamba Allah Sejati


By abdurrahman ⋅ April 7, 2014 ⋅ Post a comment
sumber web : http://manisnyaiman.com/menjadi-hamba-allah-sejati/

Penghambaan diri kepada Allah atau al-‘ubudiyyah adalah kedudukan manusia yang paling tinggi di sisi Allah . Karena dalam kedudukan ini, seorang manusia benar-benar menempatkan dirinya sebagai hamba Allah yang penuh dengan kekurangan, kelemahan dan ketergantungan kepada Rabb-nya, serta menempatkan dan mengagungkan Allah sebagai Rabb yang maha sempurna, maha kaya, maha tinggi dan maha perkasa.

Allah berfirman:

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ}

“Wahai manusia, kamulah yang bergantung dan butuh kepada Allah; sedangkan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa manusia pada zatnya butuh dan bergantung kepada Allah untuk memenuhi kebutuhan mereka lahir dan batin, dalam semua arti kebutuhan dan ketergantungan, baik itu disadari oleh mereka maupun tidak. Oleh karena itu, hamba-hamba Allah yang beriman dan selalu mendapat limpahan taufik-Nya, mereka selalu mempersaksikan ketergantungan dan kebutuhan ini dalam semua urusan dunia maupun agama. Maka mereka selalu merendahkan diri dan memohon dengan sungguh-sungguh agar Dia senantiasa menolong dan memudahkan segala urusan mereka, serta tidak menjadikan mereka bersandar kepada diri mereka sendiri meskipun hanya sekejap mata[1]. Mereka inilah yang selalu mendapatkan pertolongan dan limpahan taufik dari Allah [2].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Kesempurnaan makhluk (manusia) adalah dengan merealisasikan al-‘ubudiyyah (penghambaan diri) kepada Allah, dan semakin bertambah (kuat) realisasi penghambaan diri seorang hamba (kepada Allah ) maka semakin bertambah pula kesempurnaannya (kemuliaannya) dan semakin tinggi derajatnya (di sisi Allah ).

Dan barangsiapa yang menyangka (dengan keliru) bahwa seorang hamba bisa saja keluar dari penghambaan diri kepada Allah (tidak terkena kewajiban beribadah kepada Allah ) dalam satu sisi, atau (dia menyangka) bahwa keluar dari penghambaan diri itu lebih sempurna (utama), maka dia termasuk orang yang paling bodoh bahkan paling sesat”[3].



Makna dan hakikat al-‘ubudiyyah

al-‘Ubudiyyah (penghambaan diri) atau ibadah adalah sesuatu yang menghimpun rasa cinta yang sempurna disertai sikap merendahkan diri yang sempurna[4]. Maka tidaklah dikatakan suatu perbuatan sebagai ibadah atau penghambaan diri jika tidak disertai dua hal ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ibadah atau penghambaan diri mengandung kesempurnaan dan puncak kecintaan serta kesempurnaan dan puncak (sikap) Menghinakan (merendahkan diri). Sehingga sesuatu yang dicintai tapi tidak diagungkan dan merendahkan diri kepadanya maka tidaklah (disebut sebagai) sesembahan (sesuatu yang diibadahi). Sebagaimana sesuatu yang diagungkan tapi tidak dicintai maka tidaklah (disebut sebagai) sesembahan (sesuatu yang diibadahi). Oleh karena itu, Allah berfirman:

{ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ }

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” (QS al-Baqarah: 165)”[5].

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak ada jalan menuju (keridhaan) Allah yang lebih dekat dari (jalan) al-‘Ubudiyyah (penghambaan diri kepada Allah ) dan tidak ada hijab (penghalang menuju keridhaan-Nya) yang lebih tebal dari pengakuan (membanggakan dan kagum dengan diri sendiri). Penghambaan diri berporos pada dua patokan yang merupakan landasan al-‘Ubudiyyah, (yaitu) kecintaan yang utuh dan penghinaan diri yang sempurna (kepada Allah ).

Kedua lndasan ini tumbuhnya dari dua pokok utama, yaitu mempersaksikan (besarnya) anugrah dan kurunia (dari Allah bagi hamba-Nya, dalam memudahkan segala kebaikan dan melindungi dari semua keburukan), yang ini akan menumbuhkan rasa cinta (kepada Allah ), dan mempersaksikan (besarnya) kekurangan diri hamba dan ketidaksempurnaan amalnya, yang ini akan menimbulkan (sikap) merendahkan diri yang sempurna (kepada Allah )”[6].

Imam al-Qurthubi berkata: “Barangsiapa yang (selalu) taat dan beribadah kepada Allah, menyibukkan pendengaran, penglihatan, lisan dan hatinya dengan perintah-Nya, maka dialah yang paling berhak (mendapatkan) nama al-‘Ubudiyyah (hamba Allah sejati). Dan barangsiapa yang melakukan kebalikan dari (semua) itu, maka dia termasuk dalam firman Allah :

{أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ}

“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” (QS al-A’raaf: 179)[7].

Inilah kedudukan mulia yang diminta oleh Rasulullah kepada Allah dalam doa beliau : “Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, dan kumpulkanlah aku di dalam golongan orang-orang miskin pada hari kiamat”[8].

Arti “orang miskin” dalam hadits ini adalah orang yang selalu merendahkan diri, tunduk dan khusyu’ kepada Allah [9].

Inilah sifat yang menjadikan sempurna penghambaan diri manusia kepada Allah , bahkan inilah yang menjadikan bertingkat-tingkatnya kedudukan dan keutamaan manusia di sisi Allah . Sehingga seorang hamba yang kelihatannya banyak berbuat kebaikan dan amal shaleh tapi di dalam hatinya tidak terdapat hakikat penghambaan diri kepada Allah , bahkan sebaliknya, dia bersifat sombong, bangga diri dan lupa menisbatkan taufik kebaikan yang dikerjakannya kepada Allah , maka hamba ini adalah hamba yang buruk dan tidak diridhai oleh Allah .

Imam Ahmad menukil dari salah seorang ulama Salaf, bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada ulama ini: Sungguh aku melaksanakan shalat lalu aku menangis (tersedu-sedu) sampai-sampai hampir (bisa) tumbuh sayuran karena (derasnya) air mataku. Maka ulama inipun berkata kepadanya: “Sungguh jika kamu tertawa tapi kamu mengakui dosa-dosamu lebih baik dari pada kamu menangis tapi kamu menyebut-nyebut (membanggakan) amalmu, karena sesungguhnya shalat orang yang menyebut-nyebut (membanggakan amalnya) tidak akan naik ke atas (tidak diterima/diridhai Allah )”[10].

Inilah makna ucapan yang dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dari salah seorang ulama Salaf yang berkata: “Sungguh ada seorang hamba yang melakukan perbuatan dosa (tapi) karena dosa itu dia masuk Surga, dan ada seorang hamba (lain) yang melakukan kebaikan (tapi) karena kebaikan itu dia masuk Neraka”. Orang-orang bertanya (dengan keheranan): Bagaimana (itu bisa terjadi)?

Ulama tersebut berkata: “Hamba yang berbuat dosa, lalu (setelah itu) dosa tersebut selalu ada di hadapan kedua matanya karena dia takut (dan) khawatir (dirinya akan binasa), (maka dia selalu) menangis, menyesali (perbuatan dosa itu), merasa malu kepada Allah , menundukkan kepala di hadapan-Nya, dan merasa hatinya remuk di hadapan-Nya. Maka dosa (yang diperbuatnya) itu lebih bermanfaat bagi hamba ini dari pada banyak amal ketaatan, karena dampak yang muncul setelah itu berupa hal-hal (sikap takut dan merendahkan diri/ penghambaan diri yang sempurna) yang dengan itulah seorang hamba (meraih) kebahagiaan dan keberuntungan (di dunia dan akhirat). Sehingga dosa yang dilakukannya (justru) menjadi sebab dia masuk Surga.

Sedangkan hamba yang melakukan kebaikan, (tapi) setelah itu dia selalu menyebut-nyebut kebaikan tersebut di hadapan Allah, merasa saombong, bangga, merasa dirinya besar dengan kebaikan tersebut dan dia berkata: aku telah melakukan banyak kebaikan. Maka kebaikan tersebut (justru) menimbulkan (sifat) sombong, bangga diri dan angkuh yang menjadi sebab kebinasaannya (karena dia tidak merendahkan dirinya di hadapan Allah, padahal Dialah yang memudahkan bagi hamba tersebut untuk melakukan kebaikan itu”[11].



Orang yang paling sempurna penghambaan dirinya kepada Allah

Mereka adalah orang-orang yang mencintai Allah dengan utuh dan sempurna, sehingga mereka selalu bersegera dan berungguh-sungguh dalam mengerjakan amal shaleh dan mendekatkan diri kepada Allah , bersamaan dengan itu, mereka tetap menundukkan diri dan meyakini ketergantungan diri mereka kepada-Nya, dengan selalu berharap dan takut kepada-Nya.

Allah memuji para Nabi dan Rasul-Nya denga sifat ini dalam firman-Nya:

{إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ}

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdoa kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ (dalam beribadah)” (QS al-Anbiyaa’: 90).

Dalam ayat lain, Allah memuji hamba-hamba-Nya yang shaleh dalam firman-Nya:

{تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ}

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (karena mereka selalu mengerjakan ibadah dan shalat ketika manusia sedang tertidur di malam hari), sedang mereka berdoa kepada Allah dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka” (QS as-Sajdah: 16).

Juga tentang sifat-sifat mulia para Shahabat y dalam firman-Nya:

{مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا، سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ}

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia (para Shahabat y) bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda meraka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud” (QS al-Fath: 29).

Imam Mujahid dan beberapa ulama ahli tafsir lainnya berkata tentang makna “tanda-tanda pada wajah mereka” dalam ayat ini: “Yaitu Khusyu’ (dalam shalat) dan tawadhu’ (sikap merendahkan diri kepada Allah )”[12].

Inilah makna al-‘ubudiyyah al-khaashah (penghambaan diri yang khusus) yang dipuji oleh Allah dalam al-Qur-an, dengan mereka disebut sebagai ‘hamba Allah yang sejati’ dan digandengakan-Nya mereka dengan nama-Nya yang maha mulia, yang mana penggandengan ini mengandung arti “idha-fatu at-tasriif” (kemuliaan dan keagungan) bagi mereka[13].

Sebagaimana dalam firman Allah yang menyebut Nabi Muhammad sebagai hamba-Nya:

{سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ}

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad ) pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS al-Israa’: 1).

Juga firman-Nya:

{أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ}

“Bukankan Allah cukup untuk melindungi hamba-Nya (Nabi Muhammad )?” (QS az-Zumar: 36).

Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad adalah manusia yang paling sempurna dalam menunaikan penghambaan diri dan ketaatan kepada Allah [14].

Sebagaimana sifat ini juga yang Allah jadikan sebagai kemuliaan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa kepada-Nya[15] dalam firman-Nya:

{وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا. وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا}

“Dan hamba-hamba (Allah) Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri (melksanakan shalat malam) untuk Rabb mereka (Allah )” (QS al-Furqaan: 63-64).



Sombong dan membanggakan diri, perusak al-‘ubudiyyah

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud t bahwa Rasulullah bersabda: “Tidaklah masuk Surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan (meskipun) seberat biji debu”. Ada yang bertanya: (Wahai Rasulullah ), sesungguhnya (setiap) orang senang memakai baju yang bagus dan alas kaki yang indah. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan Dia mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran (karena congkak) dan merendahkan manusia”[16].

Hadits ini menunjukkan bahwa sifat sombong dan membanggakan diri merupakan sifat yang sangat tercela, bahkan bertentangan dengan sifat al-‘ubudiyyah yang hakikatnya adalah sikap merendahkan diri dan ketundukan yang sempurna kepada Allah .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Hakikat Islam adalah kepasrahan (dan ketundukan diri) seorang muslim (hanya) kepada Allah dan bukan kepada selain-Nya. Karena orang yang memasrahkan diri kepada Allah dan (juga) kepada selain-Nya (maka) dia adalah seorang musyrik (berbuat syirik/menyekutukan Allah ), sebagaimana orang yang menolak (agama) Islam (maka) dia adalah musyrik.

Inilah hakikat (agama) Islam yang diturunkan oleh Allah kepada para Rasul-Nya u dan dalam kitab-kitab-Nya. Yaitu kepasrahan (dan ketundukan diri) seorang hamba (hanya) kepada Allah dan bukan kepada selain-Nya. Maka orang yang memasrahkan diri kepada Allah dan (juga) kepada selain-Nya (maka) dia adalah seorang musyrik (berbuat syirik/menyekutukan Allah ), sebagaimana orang yang menolak (agama) Islam (maka) dia adalah orang yang menyombongkan diri.

Dalam hadits yang shahih dari Rasulullah (beliau bersabda) bahwa “Surga tidak akan dimasuki oleh orang yang dalam hatinya ada kesombongan (meskipun) seberat biji debu”[17]. Sebagaimana Neraka tidak akan dimasuki oleh orang yang dalam hatinya ada keimanan (meskipun) seberat biji debu. Maka (dalam hadits ini) Rasulullah menjadikan sifat sombong sebagai lawan dari keimanan, karena sesungguhnya sifat sombong itu meruntuhkan hakikat al-‘ubudiyyah (penghambaan diri seorang hamba). Sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Rasulullah bahwa beliau bersabda: Allah berfirman: “Keagungan adalah sarung-Ku dan kebesaran adalah selendang-Ku, maka barangsiapa melawan-Ku (dengan merasa memiliki) salah satu dari kedua sifat itu maka Aku akan mengazabnya”[18].

Maka sifat keagungan dan kebesaran termasuk sifat-sifat yang khusus (dalam) rububiyah Allah (sifat-sifat Allah, seperti menciptakan, mengatur dan menguasai alam semesta beserta isinya). Dan sifat kebesaran lebih tinggi dari sifat keagungan, oleh karena itu, sifat kebesaran dijadikan pada kedudukan selendang, sebagaimana sifat keagungan dijadikan pada kedudukan sarung[19].

Oleh karena itu, seorang hamba yang selalu merendahkan diri dan mengakui kelemahan serta kekurangan dirinya di hadapan Allah lebih baik dan lebih mulia dari pada seorang yang selalu membanggakan dirinya meskipun amal ibadahnya terlihat banyak.

Imam Mutharrif bin ‘Abdillah bin asy-Syikhkhiir berkata: “Sungguh jika aku tertidur di malam hari tapi aku (bangun) di pagi hari dalam keadaan menyesali (dosa-dosaku) lebih aku sukai dari pada aku berdiri (beribadah) di malam hari tapi ketika di pagi hari aku bangga (dengan diriku sendiri)”. Imam adz-Dzahabi menukil ucapan beliau ini, lalu beliau mengomentari: “Demi Allah, tidak akan beruntung orang yang menganggap dirinya suci atau bangga dengan dirinya sendiri”[20].



Penutup

Allah berfirman menjelaskan sifat hamba-hamba-Nya yang telah menyempurnakan sifat al-‘ubudiyyah sehingga mereka meraih predikat takwa kepada-Nya:

{تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ}

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS Al Qashash:83).

Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Jika mereka (orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini) tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, maka konsekwensinya (berarti) keinginan mereka (hanya) tertuju kepada Allah, tujuan mereka (hanya mempersiapkan bekal untuk) negeri akhirat, dan keadan mereka (sewaktu di dunia): selalu merendahkan diri kepada hamba-hamba Allah, serta selalu berpegang kepada kebenaran dan mengerjakan amal shaleh, mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan balasan akhir yang baik (surga dari Allah )”[21].

Semoga Allah memudahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketaatan kepada-Nya yang merupakan sebab keberuntungan kita di dunia dan akhirat, aamiin.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 10 Rabi’ul awal 1435 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni



[1] Sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah r dan ini termasuk doa yang dianjurkan untuk dibaca pada waktu pagi dan petang: “… (Ya Allah!) jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau membiarkan diriku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma) sekejap mata” HR an-Nasa-i (6/147) dan al-Hakim (no. 2000), dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahihah” (1/449, no. 227).

[2] Lihat keterangan Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di dalam “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 687).

[3] Kitab “al-‘Ubuudiyyah” (hal 57 – Tahqiiq: Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi, cet. Darul ashaalah).

[4] Lihat keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab “al-‘Ubuudiyyah” (hal. 94) dan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Thariiqul hijratain” (hal. 510).

[5] KItab “Majmu’ul fata-wa” (10/56).

[6] Kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 15 – cet. Dar al-kitab al-‘Arabi).

[7] Kitab “Tafsir al-Qurthubi” (13/67-68).

[8] HR at-Tirmidzi (4/577), Ibnu Majah (no. 4126) dan al-Hakim (4/358), dinyatakan shahih oleh imam al-Hakim, imam adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani.

[9] Lihat kitab “al-Khusyu’ fish shalaah” (hal. 34) dan “Tuhfatul ahwadzi” (7/16).

[10] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/89).

[11] Kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 13 – cet. Dar al-kitab al-‘Arabi).

[12] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (4/260).

[13] Lihat kitab “Mada-rijus saalikiin” (1/105), “at-Tahriir wat tanwiir” (hal. 3910) dan “fathul Majiid” (hal. 429).

[14] Lihat kitab “fathul Majiid” (hal. 41).

[15] Lihat kitab “Tafsir al-Qurthubi” (13/67).

[16] HSR Muslim (no. 91).

[17] HSR Muslim (no. 91).

[18] HR Abu Dawud (no. 4090) dan Ibnu Majah (no. 4174), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.

[19] KItab “al-‘Ubuudiyyah” (hal. 30).

[20] KItab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (4/190).

[21] Kitab “Taisiirul kariimir Rahmaan fi tafsiiri kalaamil Mannaan” (hal. 453).

Jumat, 22 Agustus 2014

Kajian Kitab Al Hikam - RIYA

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary “Bagian nafsu dalam kemaksiatan itu jelas nyata. Sedangkan bagian nafsu di dalam ta’at, itu tersembunyi dan tidak nyata. Mengobati yang tersembunyi itu sangat sulit terapinya.”
Bahwa nafsu itu memiliki kecenderungan maksiat dan melakukan tindak maksiat itu sangat nyata dan jelas, karena naluri nafsu memang demikian. Namun ketika nafsu menyelinap di balik aktivitas taat, kebajikan, amaliah, sangat tersembunyi. Alur nafsu dalam konteks ini memiliki tiga karakter:
Takut pada sesama makhluk,
Ambisi rizki,
Rela pada kemauan nafsu itu sendiri.
Munculnya ketiga karakter itu bersamaan dengan selera nafsu.
Sedangkan perselingkuhan nafsu dibalik taat dan ibadah kita begitu tersembunyi. Tiba-tiba ia merasa lebih tinggi dibanding orang lain, lebih suci, kemudian muncul rekayasa untuk manipulasi, dengan tujuan tertentu atau imbalan tertentu, yang menyebabkan riya’.
Mari kita bertanya pada diri sendiri dibalik nafsu yang tersembunyi ini. Apakah ketika kita beribadah, melakukan aktivitas kebajikan dan amaliyah lainnya, agar kita disebut berperan? Agar disebut lebih dibanding yang lain? Mendapat pujian dan kehormatan orang lain? Anda sendiri dan orang-orang sholeh yang memiliki matahatilah yang mengenal karakter itu.
Karena itu nafsu sering bersembunyi dibalik bendera agama, dibalik aktivitas ibadah dan gerakan massa keagamaan, bahkan nafsu merangsek ornamen penampilan orang-orang saleh, agar disebut saleh.
Disnilah Ibnu Athaillah juga mengingatkan berikutnya: “Kadang-kadang riya’ itu masuk padamu, ketika orang lain tidak memandangmu.”
Kenapa demikian? Karena riya’ itu bertumpu pada pandangan makhluk. Ketika anda bersembunyi atau makhluk lain tidak mengenal anda, lalu anda diam-diam merasa ikhlas, karena makhluk lain tidak melihatmu, itu pun disebut riya’. Sebab unsur makhluk masih tersisa di hatimu.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh, ra, menegaskan, “Beramal demi pandangan manusia itu adalah syirik. Sedangkan tidak melakukan amaliah karena agar dipandang manusia, adalah riya’. Meninggalkan amal demi manusia adalah syirik. Ikhlas, adalah Allah jika anda diampuni (lalu meninggalkan) kedua faktor di atas.”
Ketika seseorang berlaku riya’, dalam kondisi khalwat, secara diam-diam pula ia ingin disebut lebih utama dibanding yang lain. “Wah saya sudah suluk, saya sudah baiat, saya sudah khalwat… Sedangkan kalian kan belum… Jelas saya lebih baik dibanding anda…”. Bisikan lembut ini adalah bentuk ketakaburan dan riya’.
Inilah mengapa Ibnu Athaillah melanjutkan: “Upayamu untuk meraih kemuliaan agar makhluk mengetahui keistemewaanmu, menunjukkan bahwa ubudiyahmu sama sekali tidak benar.”
Karena, menurut Syeikh Zarruq, ra, manakala anda benar dalam ubudiyah pada Tuhanmu, pasti anda tidak senang jika yang lainNya tahu amalmu.
Sebagian Sufi mengatakan, “Tak seorang pun benar pada Allah Swt, sama sekali, kecuali jika ia senang bila cintanya tidak dikenal oleh yang lain.”
Ahmad bin Abul Hawary ra, mengatakan, “Siapa pun bila senang kebaikannya dipandang orang lain atau disebut-sebut, ia benar-benar musyrik dalam ibadahnya. Karena orang yang berbakti pada cinta, tidak senang bila baktinya dipandang oleh selain yang dijabdi.”
Sahl bin Abdullah ra, mengatakan, “Siapa yang senang pamer amalnya pada orang lain ia telah riya’. Dan siapa yang ingin dikenal kondisi ruhaninya oleh orang lain, ia adalah pendusta.”
Ibrahim bin Adham nengatakan, “Tidak benar bagi Allah orang yang senang dengan keterkenalan (popularitas).”
Dan menghapus riya’ dan membersihkannya, sudah seharusnya dilakukan dengan memandang kepada Allah Swt dan menolak selain DiriNya.
sumber : www.sufinews.com

Rabu, 24 Juli 2013

MALAM PERTAMA DI ALAM KUBUR NANTI

DIAMBIL DARI TULISAN :  luqiem-muqaddimah.blogspot.com
Bagaimana suasana malam pertama di alam kubur… Bagaimana kedasyatan siksaannya…? Dosa-dosa apakah yang menyebabkan siksaan kubur…? Bagaimana kaedah menjemput kematian terindah…?

“Setiap yang bernyawa pasti merasai mati, Wahai jiwa yang tenang, Pulanglah kehadrat Tuhan mu dengan gembira dan diredhai, masuklah dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuk pula dalam syurga-Ku…”

Pada hari itu ia begitu bahagia, menikmati indahnya alam ciptaan Allah, bersama anak dan keluarga, penuh keceriaan, hidup dalam kesenangan dan kehidupan yang terjamin, tertawa melihat telatah anak-anaknya, demikian pula dia ditertawakan oleh anak-anaknya… lalu tiba-tiba ia didatangi oleh suatu malam, malam disaat dia dijemput oleh kematiannya…

Sakarat….. Sakaratul Maut….

“Dan datangnya sakaratul maut itu benar… Itulah yang kamu selalu lari dari padanya… Ditiuplah sangkakala Hari terlaksananya Ancaman… Setiap jiwa datang dengan malaikat yang jadi saksi… Sungguh kami lalai akan kenyataan ini… Maka kami singkapkan kakitanganmu, pada hari itu hingga penglihatanmu menjadi jelas” (Qaf: 19-22).

Malam itulah malam pertama ia berada dalam alam kubur… sendiri dikecam oleh kesunyian, tanpa anak dan isteri/suami juga sahabat karib… yang ada hanyalah amal… inilah malam pertama anak kita menjadi yatim, dan isteri/suami kita menjadi janda/duda… malam pertama yang menggusur dari tempat tidur yang empuk menuju dinginnya tanah berselimutkan kafan… inilah malam yang mengusir kita dari rumah mewah dan megah.. menempati liang lahad yang gelap dan sempit… kelmarin malam kita masih berpesta, makan dan minum bersama sahabat karib… tiba-tiba kita masuk pada malam pertama dimana kita menjadi santapan cacing tanah dan serangga… pada malam ini kita baru sedar.. Ternyata… HARTA, KELUARGA, PEKERJAAN yang keras kita mencarinya sampai lalai dari mengingati Allah… tidak sedikitpun daripada semua itu menemani dan membela kita…

Allah SWT berfirman, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk kedalam kubur, janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui akibat perbuatanmu” (At-Takatsur: 1-3)

Inilah malam episod pertama dari alam akhirat, kuburan boleh menjadi taman syurga, sebaliknya ia boleh menjadi satu lubang dari lubang-lubang neraka… inilah kematian datang dengan tiba-tiba… ia datang tepat pada waktunya… tidak lambat dan tidak cepat… meragut dengan paksa, melenyapkan segala nikmat dunia.. tidak pernah menilai kita tua atau muda, kaya atau miskin, sihat atau sakit… ia datang untuk mengeluarkan manusia dari alam kehidupan yang selama ini kita jalani.. ketahuilah rumah yang kukuh dan megah tidak akan mampu membentengi datangnya sang pencabut nyawa…

Banyaknya wang di bank tidak mampu memberi rasuah kepada Malaikat untuk undurkan waktu kematiannya… inilah realiti kematian… sudah bersiapkah kita menghadapi malam pertamanya… Bukankah Rasulullah Saw ada bersabda “ Orang yang bijak adalah yang sentiasa mengingati mati di antara kamu, dan ada bekalan setelah kematiannya..” Marilah kita siapkan bekalan untuk menjadi penyinar di alam kubur nanti… demi Allah, tiada yang sanggup menerangkannya melainkan dengan iman dan amal yang soleh..

Metode Menjemput Kematian…

“Kematian adalah nasihat terbaik dan guru kehidupan, sedikit sahaja kita lengah dari memikirkan kematian, maka kita akan kehilangan guru terbaik dalam kehidupan”

Sesungguhnya manusia telah memilih bagaimana akhir hidupnya… dan pilihan itu ada pada bagaimana ia menjalani kehidupannya… sebagaimana ia menjalani kehidupannya seperti itulah berakhirnya kematiannya… kerana sesungguhnya dengan menjalani kehidupan bererti kita sedang menuju kepada kematian kita…

Pernahkah kita mendengar berita tentang seorang penzina mati di katil hotel diatas perut pasanganya… seorang penagih dadah mati ketika menghisapnya… dan para penjudi mati diatas meja judinya… begitu juga kita pernah mendengar ahli ibadah mati di atas tikar sejadahnya…

Alangkah malangnya, saat ajal tiba kita masih berlumur dosa berbalut nista… inilah malam pertama kita DI ALAM KUBUR… sendiri, di cekam sepi gelap yang tidak pernah terbayang… hilanglah sudah… semua gemerlapnya DUNIA… RUMAH dengan jerih payah bertahun-tahun telah kita bangunkan… ISTERI/SUAMI dan pengabdiannya begitu tulus… ANAK, yang padanya darah daging kita… ORANG TUA yang titisan kasih sayangnya.. mengalir di tubuh kita… dan PEKERJAAN, yang bermati-matian kita habiskan waktu untuknya… KERETA MEWAH yang selalu menjadi kebanggaan… tapi kini hari itu telah pergi… masa pun telah tiada… yang tersisa hanya dosa… yang terus terbayang…

TERINGAT… akan ISTERI/SUAMI yang sentiasa dinafikan hak-haknya… ANAK, yang telah kita kotori tubuhnya dari nafkah yang HARAM… ORANG TUA, yang di sisa hidupnya belum sempat dibahagiakan… SAHABAT KARIB, yang meminta bantuan kita biarkan… dan KAWAN-KAWAN, yang telah banyak kita kecewakan…

Ya ALLAH, masihkah ada hari milik-Mu untukku… agar boleh ku lunaskan segala urusan… lilitan hutang yang belum terbayar… banyaknya AMANAH dan KEPERCAYAAN yang tidak disampaikan… beribu JANJI yang sering diingkari… dan WANG RASUAH, yang telah kita nikmati dan kita bagi… namun kini, PINTU-MU… sudah tertutup rapat… bertaubat sudah terlambat, menyesali diri sudah tidak bererti… dan tinggallah sendiri menanggung beban DOSA dan KESALAHAN yang tidak terMAAFKAN… merasakan PENDERITAAN yang PANJANG yang tiada berakhir… SEKARANG, adakah dalam hati kita MATI itu sebagai PENASIHAT..??? Semoga selagi masih ada waktu…


Fasa-Fasa Alam Kubur

Kesempitan kubur, pertanyaan malaikat, azab atau nikmat kubur, ditempatkannya ruh dan kebangkitan…

Alam kubur adalah alam perantaraan kehidupan dunia dan akhirat yang dimulai setelah kematian dan berakhir selepas kebangkitan… selama masa ini, seorang yang beriman merasa bahagia… sementara orang kafir merasa sengsara… orang yang sudah mati akan dihimpit dalam kubur… siapa pun ia kafir atau muslim akan merasakan himpitan kubur… bezanya penyimpitan yang dirasakan seorang mukmin tidak berlaku selamanya, tidak seperti orang kafir yang akan berterusan himpitan kuburnya sampai hancur tulang-tulangnya…

Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya kubur itu memiliki himpitan, seandainya ada orang yang selamat darinya, maka selamatlah Sa’ad Bin Mu’adz…” Sa’ad Bin Mu’adz akan mengalami himpitan kubur, padahal ia adalah seorang pemimpin penuh kemuliaan, kematiannya menggoncangkan ‘Arasy, dibukakan baginya pintu-pintu langit, Kasyahidannya disaksikan oleh 70 ribu malaikat…

Hadis yang diriwayatkan oleh Nasa’I dari Rasulullah SAW: “Kematiannya menggoncangkan ‘Arasy, dibukakan baginya pintu-pintu langit, pintu yang banyak, Kesyahidannya disaksikan oleh 70 ribu malaikat, maka sungguh ia mengalami himpitan kubur, kemudian Allah melapangkanya.”

Apabila Sa’ad Bin Mu’adz seorang pemimpin yang besar, hamba Alah yang soleh dan mendapatkan mati Syahid mengalami himpitan kubur… bagaimana dengan kita..? Allahuakhbar… Ya Allah Terimalah taubat-ku… selamatkanlah aku dari azab kubur…

Rasulullah SAW bersabda “Seorang manusia apabila diletakkan dia di dalam kuburnya dan sahabatnya berpaling pulang sedang ia mendengar suara sandal mereka akan datang kepadanya dua malaikat dan mendudukkannya dan bertanya… SIAPAKAH TUHAN-MU…?, SIAPAKAH NABI-MU…?, APAKAH AGAMA-MU…?... dia menjawab, ALLAH ADALAH TUHAN-KU… MUHAMMAD ADALAH NABI-KU… ISLAM ADALAH AGAMA-KU…

Terdengarlah seruan dari langit, “Benar.. Hambaku, hamparkan baginya tikar dari syurga, lalu angin dan wangi syurga datang kepadanya kemudian kubur diluaskan seluas mata memandang, seorang yang rupawan datang menemaninya, yang tiada lain itulah amal solehnya.” (Hadis riwayat Ahmad, Abu Daud, Hakim dan Baihaqi).

Benarkah kita… boleh menjawabnya…? Dari lisan yang jarang menyebut Asma-Nya… dan ibadah yang sering kita remehkan… Serta sunnah Rasul… yang kita abaikan… pada saat itu… kita hanya mampu menjawab… TIDAK… TIDAK… TIDAAAKKKKK...

Terdengarlah suara penyeru dari langit… Hambaku ini seorang pendusta… Hamparkan padanya tikar dari api neraka, bukakan baginya pintu neraka, panas dan keringnya neraka mendatanginya… Kubur disempitkan sampai pecah tulang-tulangnya… seorang berwajah buruk berpakaian buruk dan berbau busuk datang kepadanya… Yang tiada lain itulah amal buruknya…


Tragedi… Siksa Kubur

“Aisyah Ra bertanya tentang azab kubur, Rasulullah SAW menjawab: Ya, azab kubur pasti ada.” (HR. Bukhari – Dalam Kitab Al-Janaiz).

“Aisyah Ra meriwayatkan bahawa Rasulullah SAW berdoa dalam solatnya, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur…” (HR. Mutafaqun Alaih).

“Ketika orang-orang yang derhaka kepada Allah tidak mampu menjawab pertanyaan malaikat, lalu ia dipukul dengan besi… hingga ia menjerit dengan teriakan yang sangat keras… didengar oleh semua makhluk Allah, kecuali Jin dan Manusia,” (HR. Bukhari dan Muslim).

Saatnya kita menyaksikan… kejadian nyata tentang siksa kubur yang berlaku di Jazirah Arab… Seorang pemuda yang dikeluarkan dari kuburnya setelah beberapa jam dia dikuburkan… Akibat mengalami azab kubur, pemuda tersebut telah berubah wajah dan jasadnya… Pemuda tersebut merupakan remaja muslim yang meninggal pada usia 18 tahun… seorang pemuda yang rosak akhlak dan agamanya… dan sering melalaikan solat… hampir tiga (3) jam pemuda tersebut dikuburkan, pihak keluarga meminta kubur tersebut digali semula untuk keperluan tertentu…

Dan apa yang terjadi selepas mayat tersebut dikeluarkan… pandangan yang sangat mengaibkan… Rambut yang hitam menjadi putih… Dari mulut dan hidung keluar darah yang masih merah pekat… seperti baru mengalami siksaan kubur yang sangat keras… seperti ada yang memukul dibahagian belakang kepalanya… dengan wajah seperti dilemas dan membeku…

Bagi seorang muslim… ini adalah pengajaran yang sangat-sangat berharga agar segera memperbaiki hidupnya… dengan bertaubat dari dosa-dosa yang telah dilakukan…

Sementara itu… sebagai pengajaran dan iktibar untuk kita…

Suara jeritan jutaan manusia di alam bumi yang lain… di sebuah lubang galian yang berada di daerah Siberia… Dr. Azzacove bersama kumpulannya telah melakukan sebuah kajian tentang pergerakan perut bumi di daerah Siberia, Rusia… kemudian mereka memasang alat pembesar suara supersensitive untuk mendengar suara pergerakan perut bumi… sebuah penemuan yang sangat mengejutkan, ketika mesin penggali sampai pada salah satu perut/kulit bumi… dari ruang/alam bumi yang lain, terdengar suara manusia berteriakan sangat keras dalam kesakitan… bahkan suara jeritan itu jumlahnya bukan seorang tetapi ribuan bahkan jutaan orang… sebagai seorang muslim kita tidak akan ragu lagi bahawa suara tersebut adalah suara manusia yang sedang disiksa di ALAM KUBUR…


Sebab-Sebab Siksa Kubur…

Ibnu Qoyyim Rahimahullah, dalam kitab Ar-Ruh menyebutkan ada beberapa dosa dan maksiat yang dapat menyebabkan kita disiksa di ALAM KUBUR, diantaranya :

1. Melalaikan Solat
2. Membaca al-Quran kemudian melupakannya
3. Tidak bersuci setelah membuang hadas kecil
4. Berkata bohong
5. Tidak membayar zakat
6. Corak kehidupan yang berlebih-lebihan
7. Memakan riba
8. Rasuah
9. Memfitnah sesama saudara muslim
10. Khianat terhadap amanah
11. Enggan menolong sesama muslim
12. Meminum arak
13. Berzina
14. Membunuh

“Wahai anak Adam… Sesungguhnya apa yang kau minta dari-Ku… dan yang kau harapkan dari-Ku… Ampunan-Ku bagimu yang meminta dan tidak bagi yang enggan…”

“Wahai anak Adam… Meskipun dosamu sepenuh petala langit… kemudian engkau meminta ampun pada-Ku… Ampunan-Ku bagimu dan tidak bagi yang enggan…”

“Wahai anak Adam… Seandainya kau datang pada–Ku dengan kesalahan seluas bumi… kemudian engkau datang kepada-Ku… dan tidak berbuat syirik pada-Ku dengan sesuatu pun… Sungguh Aku akan berikan kepadamu ampunan…”

Ya Allah… terimalah taubatku… Ya Allah… terimalah taubatku… Ya Allah… terimalah taubatku…

Alangkah bahagianya… seandainya maut menjemput kita sedang berurai air mata merasakan manisnya iman dalam sujud penghambaan… rindu akan perjumpaan dengan-Nya…

Alangkah indahnya air mata yang selalu berlinang dari munajat seorang anak soleh kepada Allah… Merindukan kemuliaan dan keselamatan bagi kedua orang tuanya… taburan doanya menjadi cahaya yang menerangi dari gelapnya ALAM KUBUR…

Doa-doanya menghantar kepulangan orang tuanya pada Allah dalam Husnul Khatimah… rintihan dan munajatnya menjadi benteng yang kukuh sebagai penghalang dari azab dan siksa kubur… Doa yang tiada terputus mengalir dari ketulusan dan keheningan hati agar orang tuanya dalam kasih sayang Allah…


Rujukan :

1. Kitab Ar-Ruh : Ibnul Qoyyim,
2. Kitab Al-Janaiz : Imam Bukhori,
3. Kitab Awwalu Lailatin Fil Qobr : Dr. Aidh Al-Qorni,
4. The Spectacle Of Death : Khwaja Muhammad Islam,
5. Grave Punishment : Al-Sunna.