Selasa, 07 Oktober 2014

Hakikat Melaksanakan Shalat (Tafsir Tematik Surah Al-Baqarah ayat 3)

Sumber web :http://sepdhani.wordpress.com/2014/08/10/tafsir-tematik-surah-al-baqarah-ayat-3-hakikat-melaksanakan-shalat/

Allah Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (al-Baqarah: 3)

Tafsir Jalalain

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ : orang-orang yang membenarkan

بِالْغَيْبِ : sesuatu yang tidak terlihat oleh mereka, seperti hari kebangkitan, surga, dan neraka

وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ : artinya melakukan shalat sebagaimana mestinya

وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ : apa yang Kami anugerahkan kepada mereka sebagai rezeki

يُنْفِقُونَ : mereka membelanjakannya di jalan ketaatan kepada Allah



Tafsir Ibnu Katsir

Yang dimaksud dengan “melaksanakan shalat”, adalah mendirikan shalat dengan menunaikan fardhu-fardhunya. Ad-Dhahak berkata, dari lbnu Abbas r.a, yang dimaksud dengan “melaksanakan shalat” adalah sempurna ruku’, sujud, bacaan, kekhusyu’an dan sempurnanya menghadap kiblat.


Qatadah berkata, yang dimaksud “melaksanakan shalat” adalah menjaga waktu-waktunya, wudhunya, ruku’nya dan sujudnya. Muqatil bin Hayyan berkata, “melaksanakan shalat” adalah menjaga waktu-waktunya, menyempurnakan wudhunya, bacaan Al-Quran, tasyahud dan shalawat kepada nabi Saw., inilah yang dimaksud dengan melaksanakan atau mendirikan shalat.

Ibnu Katsir berkata, dalam banyak ayat Al-Quran, sering kali Allah Swt menyandingkan shalat dan infak di dalamnya, hal itu tiada lain karena shalat semata-mata adalah hak Allah dan representasi seorang hamba untuk beribadah kepada-Nya, ia termasuk kepada bentuk pengesaan dan sanjungan seorang hamba terhadap-Nya, pengagungan dan penghambaan hamba kepada-Nya, doa dan tawakal seorang hamba kepada-Nya.

Sedangkan infak adalah representasi kebaikan terhadap sesama makhluk dengan memberikan manfaat kepada mereka sebisa mungkin, dan orang-orang yang lebih prioritas untuk mendapatkannya adalah kerabat, keluarga, hamba sahaya kemudian orang asing.

Pengertian shalat di kalangan orang-orang arab maknanya adalah doa, kemudian shalat digunakan dalam pengertian syari’at yang berarti adanya ruku’, sujud dan gerakan-gerakan lain di waktu yang sudah ditentukan, dengan syarat yang harus dipenuhi, begitu juga sifat dan macam-macamnya.

Imam At-Thabari berpendapat bahwa orang yang melaksanakan shalat fardhu menjadi terbuka segala permintaan dari amalan-amalannya yang kemudian dibalas pahala oleh Allah Swt, bahkan seiring dengan itu, tidak hanya terbukanya kebutuhan yang diminta kepada Allah tapi juga terbukanya kemungkinan dikabulkannya segala kebutuhan dan permintaan seseorang yang berdoa di saat melaksanakan shalat.

(Ibnu Katsir, Tafsirul Qurani’l Azimi, jilid 1, 1421 H/2000 M: 269-271).



Riyadhus Shalihin

Dari Abu Hurairah r.a, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda,

“Sebaik-baik kehidupan manusia adalah seorang laki-laki yang memegang kendali kudanya dan bergegas untuk berjuang di jalan Allah. Setiap kali mendengar suara musuh yang menakutkan atau sangat mengerikan, ia melompat ke atas punggung kudanya untuk mengharapkan kematian. Atau seorang laki-laki yang berada dalam kumpulan kambing yang berada di puncak gunung atau berada di pedalaman lembah ini, ia mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan beribadah kepada Rabbnya sampai menemui aialnya; tidaklah ia menjadi manusia kecuali dalam kebaikan.”

(HR Muslim) [Faisal bin Abdul 'Aziz Ali Mubarak, Tatrizu Riyadis Salihina, Juz 'l , t.t.: 408)]



Hadits Nabawi

Mu’adz bin Jabal r.a. berkata, saya pernah bersama Nabi Saw. dalam suatu perjalanan. Suatu pagi, saya berada dekat dengan beliau, saya berkata, “Wahai Rasulullah, kabarkanlah kepadaku tentang suatu amal yang akan memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka.” Beliau menjawab,

“Kamu telah menanyakan kepadaku tentang perkara yang besar, kendati sungguh ia merupakan perkara ringan bagi orang yang telah Allah jadikan ringan baginya, amalan itu adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, kamu mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, kemudian berhaji ke Baitullah” Lantas beliau bersabda, “Maukah kamu aku tunjukkan pada pintu-pintu kebaikan? Amalan itu adalah puasa, puasa adalah perisai, sedekah akan menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api, dan shalat seorang laki-laki pada pertengahan malam.” Lantas beliau bersabda lagi, “Maukah kamu aku tunjukkan pokok agama, tiangnya, dan puncaknya?” Aku menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Pokok agama adalah Islam, tiangnya adalah shalat, sedangkan puncaknya adalah jihad.”

(HR At- Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, juz 5, No. Hadits, 2616, 1397 H/1977 M: 11-12).



Hadits Qudsi

Dari ‘Uqbah bin Amir r.a, dia berkata, saya pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda,

“Tuhan kalian telah kagum terhadap seorang diantara kalian yang mengumandangkan azan di atas bukit, kemudian dia melaksanakan shalat. Lantas Allah Swt. berfirman kepada segenap makhluk-Nya, “Lihatlah hamba-Ku ini, dia mengumandangkan azan untuk shalat, lalu mendirikan shalat itu dan merasa takut kepada-Ku. Sungguh Aku telah mengampuni dosa hamba-Ku itu dan Aku akan memasukkannya ke dalam surga-Ku.”

(HR Abu Daud) ['Isamuddin As-Sababati, Jamiu'l Ahadisi'l Qudsiyyati, Juz 1, t.t: 191]

*****

Referensi: Al-Quran Cordoba THE AMAZING: 33 Tuntunan Al-Quran Untuk Hidup Anda, penerbit Cordoba Internasional-Indonesia, Bandung, 2012

Hakikat Ibadah Yg Benar!!

Sumber web : http://bagikmanis.blogspot.com/2013/04/hakikat-ibadah-yg-benar.html

MEMAHAMI PENGERTIAN IBADAH
Memahami tauhid tanpa memahami konsep
ibadah adalah mustahil. Oleh karena itu
mengetahuinya adalah sebuah keniscayaan.
Penulis syarah Al-Wajibat menjelaskan,
“Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri,
ketundukan
dan kepatuhan.” (Tanbihaat Mukhtasharah, hal. 28).
Adapun secara istilah syari’at, para ulama
memberikan beberapa definisi yang beraneka

ragam. Di antara definisi terbaik dan terlengkap
adalah yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala
sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik
berupa perkataan maupun perbuatan, yang
tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).
Maka shalat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur,
menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang
tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji,
memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang
munkar, berjihad melawan orang-orang kafir dan
munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak
yatim, orang miskin, ibnu sabil (orang yang
kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik kepada
orang atau hewan yang dijadikan sebagai pekerja,
memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al Qur’an
dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari
ibadah. Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat)
kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan)
hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan
(takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya,
merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal
kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih
sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain
sebagainya itu semua juga termasuk bagian dari
ibadah kepada Allah.” (Al ‘Ubudiyah, cet. Maktabah
Darul Balagh hal. 6).
Dari keterangan di atas kita bisa membagi ibadah
menjadi tiga; ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah
anggota badan. Dalam ibadah hati ada perkara-
perkara yang hukumnya wajib, ada yang sunnah,
ada yang mubah dan adapula yang makruh atau
haram. Dalam ibadah lisan juga demikian, ada
yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Begitu pula dalam ibadah anggota badan. Ada
yang yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan
haram. Sehingga apabila dijumlah ada 15 bagian.
Demikian kurang lebih kandungan keterangan Ibnul
Qayyim yang dinukil oleh Syaikh Abdurrahman
bin Hasan dalam Fathul Majid.
Ta’abbud dan Muta’abbad bih
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
rahimahullah di dalam kitabnya yang sangat bagus
berjudul Al Qaul Al Mufid menjelaskan bahwa
istilah ibadah bisa dimaksudkan untuk menamai
salah satu diantara dua perkara berikut:
1.Ta’abbud. Penghinaan diri dan ketundukan
kepada Allah ‘azza wa jalla. Hal ini dibuktikan
dengan melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan yang dilandasi kecintaan dan
pengagungan kepada Dzat yang memerintah dan
melarang (Allah ta’ala).
2. Muta’abbad bihi. Yaitu sarana yang digunakan
dalam menyembah Allah. Inilah pengertian ibadah
yang dimaksud dalam definisi Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, “Ibadah adalah suatu istilah yang
mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan
diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun
perbuatan, baik yang tersembunyi (batin) maupun
yang tampak (lahir)”.
Seperti contohnya sholat. Melaksanakan sholat
disebut ibadah karena ia termasuk bentuk ta’abbud
(menghinakan diri kepada Allah). Adapun segala
gerakan dan bacaan yang terdapat di dalam
rangkaian sholat itulah yang disebut muta’abbad
bihi. Maka apabila disebutkan kita harus
mengesakan Allah dalam beribadah itu artinya kita
harus benar-benar menghamba kepada Allah saja
dengan penuh perendahan diri yang dilandasi
kecintaan dan pengagungan kepada Allah dengan
melakukan tata cara ibadah yang disyari’atkan (Al-
Qaul Al- Mufid, I/7).
Pengertian ibadah secara lengkap
Dengan penjelasan di atas maka ibadah bisa
didefinisikan secara lengkap sebagai: ‘Perendahan
diri kepada Allah karena faktor kecintaan dan
pengagungan yaitu dengan cara melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-
larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan oleh
syari’at-Nya.’ (Syarh Tsalatsati Ushul, hal. 37).
Oleh sebab itu orang yang merendahkan diri
kepada Allah dengan cara melaksanakan keislaman
secara fisik namun tidak disertai dengan unsur
ruhani berupa rasa cinta kepada Allah dan
pengagungan kepada-Nya tidak disebut sebagai
hamba yang benar-benar beribadah kepada-Nya.
Hal itu seperti halnya perilaku orang-orang munafiq
yang secara lahir bersama umat Islam,
mengucapkan syahadat dan melakukan rukun
Islam yang lainnya akan tetapi hati mereka
menyimpan kedengkian dan permusuhan
terhadap ajaran Islam.
Macam-macam penghambaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
rahimahullah menjelaskan bahwa penghambaan
ada tiga macam:
Penghambaan umum.
Penghambaan khusus.
Penghambaan sangat khusus.
Penghambaan umum adalah penghambaan
terhadap sifat rububiyah Allah (berkuasa, mencipta,
mengatur, dsb). Penghambaan ini meliputi semua
makhluk. Penghambaan ini disebut juga ‘ubudiyah
kauniyah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi
melainkan pasti akan datang menemui Ar Rahman
sebagai hamba.” (QS. Maryam [19] : 93). Sehingga
orang-orang kafir pun termasuk hamba dalam
kategori ini.
Sedangkan penghambaan khusus ialah
penghambaan berupa ketaatan secara umum.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan hamba-
hamba Ar Rahman adalah orang-orang yang
berjalan di atas muka bumi dengan rendah
hati.” (QS. Al Furqan [25] : 63). Penghambaan ini
meliputi semua orang yang beribadah kepada Allah
dengan mengikuti syari’at-Nya.
Adapun penghambaan sangat khusus ialah
penghambaan para Rasul ‘alaihimush shalatu was
salam. Hal itu sebagaimana yang Allah firmankan
tentang Nuh ‘alaihissalam (yang artinya),
“Sesungguhnya dia adalah seorang hamba yang
pandai bersyukur.” (QS. Al Israa’ [17]: 3). Allah juga
berfirman tentang Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Dan apabila kalian
merasa ragu terhadap wahyu yang Kami turunkan
kepada hamba Kami (Muhammad)…” (QS. Al
Baqarah [2] : 23). Begitu pula pujian Allah kepada
para Rasul yang lain di dalam ayat-ayat yang lain.
penghambaan jenis kedua dan ketiga ini bisa juga
disebut ‘ubudiyah syar’iyah (Al-Qaul Al-Mufid I/16,
Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 38-39).
Di antara ketiga macam penghambaan ini, maka
yang terpuji hanyalah yang kedua dan ketiga.
Karena pada penghambaan yang pertama manusia
tidak melakukannya dengan sebab perbuatannya.
Walaupun peristiwa-peristiwa yang ada di dunia ini
(nikmat, musibah, dsb) yang menimpanya bisa
juga menyebabkan pujian dari Allah kepadanya.
Misalnya saja ketika seseorang memperoleh
kelapangan maka dia pun bersyukur. Atau apabila
dia tertimpa musibah maka dia bersabar. Adapun
penghambaan yang kedua dan ketiga jelas terpuji
karena ia terjadi berdasarkan hasil pilihan hamba
dan perbuatannya, bukan karena suatu sebab yang
berada di luar kekuasaannya semacam datangnya
musibah dan lain sebagainya (Syarh Tsalatsatil
Ushul, hal. 38-39).
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
(abumushlih.com)

Penghambaan yang Melahirkan Kebahagiaan

Sumber web : http://www.robbanipress.co.id/resensi/h.htm

Hakikat Penghambaan kepada Allah, Ibnu Taimiyah (Penulis), Abdullah & M. Misbah (Penj.), Aunur Rafiq Shalih Tamhid & Harlis Kurniawan (Peny.), Robbani Press (Telp. 87780250), Cet I, Jumadil Ula 1425 H/Juli 2004 M, liv+174 hlm.

Penghambaan yang Melahirkan Kebahagiaan

Kata “penghambaan' menjadi suatu kata yang menjijikkan jika disematkan pada hubungan antara sesama manusia, karena berbagai tindakan keji dan biadab yang terkandung di dalamnya. Namun tidak demikian halnya jika “penghambaan” ( ‘ubudiyah ) ini ditujukan kepada Allah. Ia justru menjadi sesuatu yang disenangi, karena hal itu akan menjadi pembebas bagi manusia dari segala bentuk tirani yang membunuh hakikat kemanusiaan dirinya. Suatu penghambaan yang melahirkan kebahagiaan dan keutamaan, serta mengembalikan kehormatan manusia. Dengan demikian, penghambaan manusia terhadap Allah sesungguhnya identik dengan pembebasan dirinya.

Penghambaan yang membuahkan pembebasan ini tidak serta merta lahir begitu saja, melainkan dari penghayatan dan perjuangan yang total dalam beribadah kepada Allah. Dan itulah misi utama kehadiran manusia di dunia ini, sebagaimana yang Allah firmankan dalam ayat-Nya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. adz-Dzariyat [51]: 56).

Dalam ayat lain, Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.' Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya” (QS. an-Nahl [16]: 36).

Itulah sebabnya mengapa orang yang menjadi hamba bagi selain Allah, digambarkan oleh Nabi sebagai manusia yang celaka. Beliau bersabda: “Celakalah hamba dirham, celakalah hamba dinar, celakalah hamba sutra, celakalah hamba perut, celaka dan binasalah” (HR. Bukhari dan Ibnu Majah).

Bila manusia dituntut untuk menghamba dan beribadah kepada Allah, mereka tidak hanya mempunyai potensi untuk itu, tapi juga terlalu angkuh jika manusia enggan melakukannya. Karena nikmat yang telah diterima dari-Nya sungguh tak terbilang—meski kebesaran Allah sama sekali tak bergeser dengan kemaksiatan manusia. Lagi pula, manfaat ibadah itu sendiri sesungguhnya terpulang pada sang hamba.

Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah berfirman: “Wahai Bani Adam, curahkanlah dirimu sepenuhnya untuk beribadah kepada-Ku, maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kekayaan dan menutupi kefakiranmu. Jika tidak kaulakukan, maka Aku akan memenuhi dadamu dengan beragam kesibukan dan Aku tidak menutupi kefakiranmu” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Kita tahu bahwa implementasi dari makna ibadah begitu luas, seluas kehidupan itu sendiri. Ibadah itu sendiri bermakna: suatu nama yang mencakup segala perbuatan yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Dengan begitu, maka dimensi ibadah sangat luas dan luas sekali.

Namun telah lama umat diterpa oleh beragam kebodohan dan penyimpangan, baik dalam ibadah maupun cara berpikir mereka. Maka melalu buku ini, Ibnu Taimiyah—tokoh pembaharu dan pemikir Islam terkemuka abad ke-8 H/ke-14 M—menjawab beragam fenomena kebodohan dan penyimpangan tersebut dengan hujjah dan logika yang kuat.

Prof. Abdurrahman Albani, yang menorehkan pengantar dalam buku ini, berkomentar: buku ini termasuk risalah yang paling berharga dan bermanfaat yang pernah saya baca. Saya membacanya beberapa tahun silam dan menemukan informasi yang melimpah, analisa yang cermat, dan nasihat yang bermanfaat.

Di dalamnya saya perhatikan Ibnu Taimiyah menawarkan kepada kita teori sempurna mengenai arti ‘ubudiyah di dalam Islam. Sebuah teori yang penuh dengan pemikiran-pemikiran yang saling bertaut yang bersumber dari nash-nash syar‘i, penunjukan bahasa, dan didukung dengan berbagai aksioma ilmiah, psikologis dan sosiologis. Inilah salah satu keistimewaan di dalam teori Ibnu Taimiyah.

Ada dimensi sosial dan politik yang coba diangkat pula oleh Ibnu Taimiyah, ketika ia berbicara mengenai fenomena ‘ubudiyah kepada selain Allah, yaitu ‘ubudiyah yang secara lahiriyah pelakunya sangat jauh untuk dikatakan sebagai penghamba.

Ia berujar: “...Demikian pula pengejar jabatan dan martabat tinggi di muka bumi. Hatinya menjadi budak bagi orang yang membantunya mencapai jabatan, meskipun secara lahiriyah ia pemimpin mereka dan ditaati mereka. Pada hakikatnya ia mengharapkan mereka dan takut kepada mereka, sehingga ia mengucuri mereka dengan kekayaan dan loyalitas, mentolerir lpelanggaran mereka agar mereka menaati dan membantunya. Secara lahiriyah, ia seorang pemimpin yang ditaati, namun pada hakikatnya ia seorang budak yang patuh. Keduanya adalah hamba bagi yang lain, dan keduanya meninggalkan hakikat ibadah (penghambaan) kepada Allah.”

Tentang ketokohan Ibnu Taimiyah, penulis buku ini, tentu tak perlu dikomentari lagi. Biarlah karyanya ini saja yang berbicara ke hadapan Anda. (Makmun Nawawi)

Hakikat Sabar

Sumber web :https://id-id.facebook.com/notes/keluarga-sakinah-mawadah-warohmah-amanah-smwa/hakikat-sabar-1/10151790098011562



Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)



Pengertian Sabar

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)



Macam-Macam Sabar

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:
Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Sebab Meraih Kemuliaan

Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.

Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).

Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).

Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).

Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 375)



Sabar Dalam Ketaatan

Sabar Dalam Menuntut Ilmu

Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.

Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul, hal. 12-13)



Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu

Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang mereka.

Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13)



Sabar Dalam Berdakwah

Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal mengatakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.”

Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.

Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul wushul, hal. 13-14)



Sabar dan Kemenangan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).

Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.

Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)



Sabar di atas Islam

Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)

Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.

Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.

Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal di dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.

Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).

Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).

Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624). (Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)



Sabar Menjauhi Maksiat

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.

Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”

Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).

“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allah tabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.

Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114). Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)



Sabar Menerima Takdir

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)



Sabar dan Tauhid

Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ta’ala membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah)

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.

Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.

Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.

Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Allah ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”

Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.

Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”

Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.

Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.

Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.

Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”

Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.

Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)

-bersambung insya Allah-

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi Artikel www.muslim.or.id

Hakikat Ubudiyah [1]


Sumber web : http://amuli.wordpress.com/2009/01/19/hakikat-ubudiyah/

Hanya kepada-Mulah kami menyembah dan hanya kepada-Mulah kami memohon pertolongan. (QS. al-Fâtihah:5)

Penghambaan

Dunia adalah tempat penghambaan kepada Allah dan penghambaan kepada setan. Manusia yang menjadi hamba Allah, taat dan tunduk kepada Allah. Para nabi, para imam, orang-orang saleh, orang-orang yang bertakwa dan ulama, mereka adalah hamba-hamba Allah. Sedangkan para tiran, orang-orang bodoh, orang-orang rendah dan hina, para penumpah darah dan orang-orang yang tidak bertakwa, mereka adalah para pengikut dan hamba setan. Penghambaan kepada Allah dan ketaatan kepada setan, masing-masing memiliki pengaruh dan penampakan yang berbeda.

Dampak Penghambaan

Kenabian, kepemimpinan, perdamaian, kesucian, ketulusan, kemampuan mengalahkan kekuatan tabiat, kemampuan melakukan intervensi terhadap benda-benda alam dengan seizin Allah, semuanya itu adalah pengaruh penghambaan dan ketaatan kepada Allah. Orang yang terhubung dengan perangkat Allah, segala sesuatu berada dalam genggamannya dan berkuasa atasnya. Perangkat Allah adalah perangkat kekuasaan atas alam. Orang yang sudah terhubung dengan perangkat Allah menjadi penguasa atas alam ini, sehingga air, api dan angin tunduk di hadapannya. Semua itu adalah berkat penghambaan diri kepada Allah.

Setan dan para pengikutnya juga mempunyai pengaruh. Adapun pengaruh mereka ialah menyeret dunia kepada lautan api dan keburukan, menempatkan manusia ke dalam ambang kehancuran, menjadikan ilmu manusia menjadi pemicu kerusakan dan penyulut api yang membakar, karena berada dalam tawanan para pengikut setan. Ilmu pengetahuan alam juga merupakan nikmat Allah. Memanfaatkan ilmu pengetahuan alam adalah memanfaatkan ciptaan Allah. Namun, dengan nikmat Ilahi ini, dunia, mereka menyeret dunia kepada keburukan dan kehancuran.

Hari ini, Amerika adalah penjelmaan dari jiwa yang zalim dan melampaui batas. Orang yang memiliki jiwa yang melampaui batas—walaupun berada di ruang yang sempit—adalah orang yang keamerika-amerikaan. Siapa saja yang melakukan kezaliman di lingkungan rumah, lingkungan kerja, atau lingkungan lainnya, maka ia adalah orang yang keamerika-amerikaan.
Hakikat Ubudiyah

Allah Swt adalah kekuasaan, kebijaksanaan, keilmuan dan kekayaan mutlak. Dia memenuhi dunia dengan karunia-karunia-Nya. Setiap manusia memanfaatkan karunia-karunia Ilahi ini sesuai dengan kadar tingkat pemahaman dan cita-citanya. Keledai memakan jerami dan kemudian tidur. Sementara manusia harus menggapai makrifat dan cahaya Allah. Namun, sebagian mereka ada yang membangkang dan sebagian lagi patuh.. Para nabi as datang untuk meninggikan cita-cita manusia. Ali as berkuasa atas matahari. Matahari berada di bawah kendali perintahnya. Karena dia adalah hamba Allah semata. Menghidupkan yang mati, mengalirkan air, dan semua mukjizat para nabi berada dalam naungan penghambaan kepada Allah. “Penghambaan diri kepada Allah adalah permata yang intinya adalah rububiyah.”

(Bahauddini. Tangga-tangga Langit. Jakarta: Al-Huda)

Hamba dan Penghambaan

Sumber web dari : http://www.islamquest.net/id/archive/question/fa2208

Dimanakah penghambaan itu? Siapa hamba? Bagaimana dapat bergerak di atas rel penghambaan?
Pertanyaan
Dimanakah penghambaan itu? Siapa hamba? Bagaimana dapat bergerak di atas rel penghambaan?


Jawaban Global

Ahli linguistik memaknai ibadah sebagai tujuan khudhu’ (tunduk) dan tadzallul (menghinakan diri) dan berkata bahwa karena ibadah merupakan tingkatan tertinggi khudu’, dengan demikian tidak layak, kecuali bagi sosok yang memiliki ketinggian derajat wujud dan kesempurnaan, keagungan tingkatan segala nikmat, dan kebaikan. Oleh karena itu, ibadah selain kepada Allah Swt adalah syirik. Karena ketulusan dalam ibadah tidak terlaksana.


Penghambaan dapat disimpulkan dalam tiga perkara:


Pertama, bahwa seorang hamba tidak memandang sebagai pemilik atasapa yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Atas alasan ini, para hamba bukanlah sebagai pemilik, ia harus memandang bahwa harta benda adalah milik Tuhan dan membelanjakannya pada hal-hal yang dititahkan oleh Tuhan kepadanya.


Kedua, hamba Tuhan tidak berpikir kemaslahatan bagi dirinya sendiri.


Ketiga, seluruh aktifitas dan perbuatan hamba terbatas pada apa yang diperintahkan Allah Swt kepadanya atau yang dilarang darinya. Dengan penjelasan ini, hakikat penghambaan menjadi jelas berikut jalan untuk meraih penghambaan. Penghambaan adalah kunci wilayah dan nama hamba adalah sebaik-baik nama. Insan kamil adalah hamba Allah (Abdullah) yang sirna (fana), lebur pada wujud Allah Swt dan terkalahkan (maghlub) nama-nama-Nya.


Oleh karena itu, hamba Allah adalah seseorang yang memandang bahwa ketaatan dan kepatuhan kepada perintah Allah adalah memberikan kelezatan dan kenyamanan baginya. Menumpukan hajatnya kepada Tuhannya, menuturkan kisahnya kepada-Nya dan melabuhkan kepercayaan dan bertawakkal kepada-Nya.
Jawaban Detil

Ahli linguistik memaknai ibadah sebagai tujuan untuk tunduk (khudhu’) dan menghinakan diri (tadzallul) dan berkata bahwa karena ibadah merupakan tingkatan tertinggi ketundukan (khudu’), dengan demikian tidak layak dilakukan kecuali bagi sosok yang memiliki ketinggian derajat wujud dan kesempurnaan, keagungan tingkatan segala nikmat, dan kebaikan. Oleh karena itu, ibadah selain kepada Allah Swt adalah syirik.[1]


Ibadah terdiri dari tiga jenis:


Sebagian beribadah kepada Tuhan dengan harapan untuk mendapatkan pahala akhirat dan takut dari siksaan.[2] Orang-orang yang tergolong dalam ibadah sedemikian adalah kaum awam dari orang-orang beriman. Dan sebagian lainnya beribadah kepada Tuhan karena kemuliaan penghambaan dan Tuhan memandang mereka sebagai hamba-Nya. Dan sebagian lagi beribadah kepada Tuhan karena wibawa, keagungan dan kecintaan kepada-Nya yang merupakan tingkatan tertinggi ibadah.[3]


Sesuai dengan sabda Imam Shadiq As, kalimat ‘abd terbentuk dari tiga huruf, “a-b-d”. “Ain” merupakan kinayah dari ilmu dan keyakinan seorang hamba kepada Allah Swt. Kalimat “b” isyarat kepada bainunat (keperantaraan), perpisahan dan kejauhannya dari selain Tuhan. Dan huruf “d” menunjukkan pada dunnuw, kedekatan dan taqarrub hamba kepada Allah Swt tanpa adanya hijab dan media.”[4]


Hamba pada seluruh keberadaan dan kesempurnaannya memikul hutang kepada Tuannya. Oleh karena itu ia berserah diri kepada-Nya dan dengan mengabaikan diri dan hawa nafsunya, ia mendapatkan corak dan warna kesempurnaan Tuhan pada dirinya. Hingga pada tingkatan sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Hamba sejati Tuhan adalah seseorang yang memandang bahwa ketaatan dan kepatuhan pada perintah Allah adalah memberikan kelezatan dan kenyamanan baginya. Menumpukan hajatnya kepada Tuhannya, menuturkan kisahnya kepada-Nya dan melabuhkan kepercayaan dan bertawakkal kepada-Nya.”[5]






Apa itu Penghambaan?


Imam Shadiq As bersabda, “Hakikat penghambaan ada tiga: Pertama, bahwa seorang hamba tidak memandang sebagai pemilik atas apa yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Atas alasan ini, para hamba bukanlah sebagai pemilik, ia harus memandang bahwa harta bendanya adalah milik Tuhan dan membelanjakannya pada hal-hal yang dititahkan oleh Tuhan kepadanya. Kedua, hamba Tuhan tidak berpikir kemaslahatan bagi dirinya sendiri.


Ketiga, seluruh aktifitas dan perbuatan hamba terbatas pada apa yang diperintahkan Allah Swt kepadanya atau yang dilarang darinya. Oleh karena itu, apabila hamba Tuhan tidak memandang apa yang dianugerahkan Tuhan kepadanya sebagai miliknya, maka menginfakkan harta benda tersebut akan menjadi mudah baginya. Dan karena hamba menyerahkan pengurusan dan kemaslahatannya kepada Tuhan, maka seluruh musibah dan kesulitan akan menjadi enteng baginya. Dan tatkala seorang hamba sibuk dengan apa yang dititahkan dan dilarang oleh Allah Swt, maka waktunya tidak akan kosong sehingga ia mendapatkan peluang untuk menampilkan dirinya dan berbangga-banga di hadapan khalayak.


Dengan demikian, karena Tuhan memuliakan hamba-Nya dengan tiga jenis penghambaan ini, maka kehidupan di dunia dan bagaimana berhadapan dengan iblis dan khalayak akan menjadi mudah dan ringan baginya. Ia tidak lagi berbangga-bangga, bersikap congkak di hadapan masyarakat dalam mengejar dunia. Dan apa yang berada di tangannya berupa harta, tahta, kedudukan, tidak dijadikannya untuk meraih kemuliaan dan ketinggian derajatnya (di dunia) dan hari-harinya tidak dilalui dengan sia-sia dan tanpa tujuan.[6]


Penghambaan adalah kunci wilayah.[7] Dan nama abdi atau hamba merupakan sebaik-baik nama. Atas alasan ini, Nabi Saw sebagai ‘Abdullah pada malam Mikraj memohon penghambaan, “Tinggikan aku kepada-Mu dengan penghambaan wahai Tuhanku.”


Dinukil dari Abu Bashir bahwa Imam Shadiq As bersabda: “Di antara doa-doa Amirul Mukminin As adalah, “Tuhanku! Cukup bagiku kemuliaan asalkan aku adalah hamba-Mu. Dan cukup bagiku kehormatan asalkan Engkau adalah Tuhanku.” Tuhanku! Sebagaimana aku cinta Engkau bagian dariku, maka suskeskan aku pada apa-apa yang Engkau cintai.”[8]


Insan kamil adalah hamba Allah (Abdullah) dan memiliki seluruh manifestasi nama-nama. Sirna (fana) dan lebur dalam nama-nama Tuhan.


Alangkah indahnya tuturan Khaja Abdullah Anshari, “Ilahi sekiranya sekali Engkau berkata “Hamba-Ku,” maka melintas hingga arsy “keceriaanku.”[9]


Dalam hadis Qudis disebutkan, “Wahai hamba-Ku, taatilah kepada-Ku hingga engkau seperti-Ku (serupa atau mirip), aku berkata kepada sesuatu jadilah (kun) maka jadilah (fayakun). Engkau berkata kepada sesuatu jadilah (kun) maka jadilah (fayakun).” [10]


Oleh karena itu, senada dengan sabda Imam Shadiq As: “Ubudiyyah dan penghambaan kepada Allah Swt merupakan sebuah mutiara dan realitas batin dan hakikatnya adalah rububiyyah.”[11]


Melalui perantara penghambaan maka jiwa manusia akan terhiasi dan mampu merefleksikan pendaran cahaya alam atas. Semakin suci dan terhiasi jiwanya maka semakin benderang dan refleksinya semakin besar. Dan manifestasi-manifestasi Ilahi pada dirinya semakin banyak menjelma pada dunia luar, sedemikian sehingga ia mengaktualkan potensi khalifatuLlah dalam dirinya.


Harus diketahui bahwa hal ini bukan bermakna uluhiyyah, melainkan khilafah dan perwakilan yang merupakan karya uluhiyyah itu sendiri yang terjelma padanya.


Patut untuk diingat bahwa khalifatuLlah tidak melakukan perbuatan yang dilakukan Tuhan, namun Tuhan berbuat melalui tangannya. Nama-nama dan sifat-sifat Ilahi terjelma dan terekspresi dari jendela jiwanya.


Arif bilLlah merupakan cermin seluruh keindahan dan keagungan Tuhan azali nan abadi. Pada seluruh tingkatan mukjizat para nabi, karamah para imam dan wali-wali Tuhan, sejatinya Tuhanlah yang merupakan Pelaku nir-batas dan Penguasa mutlak. Dimana pada tingkatan ini, jiwa wali Tuhan telah fana dan inilah makam “ubudiyyah”, makam yang diperoleh melalui jalan ketaatan kepada Allah Swt.[12]


Salik pada makam ini memandang dirinya sebagai “nama Allah,”, “tanda-tanda Allah,” dan “fana fillah.” Juga memandang makhluk-makhluk lainnya sedemikian, dan apabila ia menjadi seorang wali sempurna, maka ia layak menyandang nama mutlak, mencapai makam ubudiyyah mutlak dan menjadi hamba Allah yang hakiki. Dan mampu memikul gelar hamba sebagaimana yang tertuang pada ayat, “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya.” (Qs. Al-Isra [17]:1) dengan maksud mikraj qurb, ufuk quds, melabuh jangkar di pelabuhan cinta dengan penghambaan dan kefakiran, dan menolak debu egoisme dan nafsu ingin merdeka. Dan mengekespresikan kesaksian (syahadah) pada risalah pada tasyahhud, setelah syahadah (kesaksian) pada ubudiyyah. Karena penghambaan adalah media risalah dan shalat yang merupakan mikraj orang beriman dan cermin mikraj kenabian, semua ini bermula setelah menghilangkan pelbagai hijab dengan bismillah – yang merupakan hakikat penghambaan “Subhanalladzi asra binabiyyihih birmarqât al-‘ubudiyyah al-mutlaqah.” Artinya bahwa Mahasuci Allah yang telah memperjalankan nabi-Nya dengan tangga-tangga penghambaan mutlak dan menariknya kepada penghambaan, kepada ufuk ahadiyah. Melepaskannya dari negeri mulk, malakut, jabarut dan lahut dan dari makhluk-makhluk lainnya yang bermandikan pendaran cahaya suci kepada nama dari nama-nama Allah dan dari tangga-tangga terjewantahkannya bismilLah – yang merupakan batin penghambaan – kepada mikraj kedekatan.”[13]






Peran niat dan ketulusan dalam ibadah


Niat di sisi orang awam adalah tekad untuk menunaikan ketaatan dengan harap atau takut, “Sedang mereka berdoa kepada Tuhan mereka dengan rasa takut dan harap.” (Qs. Al-Sajdah [23]:16). Niat di sisi ahli makrifat (arif) adalah tekad untuk menunaikan kepatuhan dengan penuh pengagungan: “Sembalah Tuhanmu seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Dan di sisi pecinta niat adalah tekad untuk menunaikan ketaatan karena kerinduan dan cinta. Di sisi para wali niat adalah tekad untuk melaksanakan kepatuhan setelah penyaksian keindahan Sang Kinasih secara mandiri, esensial dan fana di sisi rububiyah secara esensial, sifat-sifat dan perbuatan. Yang dituju hanyalah Dia, ibadah hanya sebagai media belaka yang mengikut pada tujuan ini.[14] Dan kondisi niat yang paling tinggi intensitasnya adalah ikhlasnya.


Ikhlas dalam ibadah orang-orang awam, pemurnian dari syirik jali (terang-terangan) dan khafi (tersembunyi), seperti riya, ujub dan bangga diri.” Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (Qs. Al-Zumar [39]:3) Ikhlas dalam ibadah orang-orang khusus (khawwas), pemurnian dari campuran rasa cemas dan harap dimana kedua hal ini dalah syirik di sisi mereka. Ikhlas dalam ibadah ahli kalbu adalah pemurnian dari segala egoisme dan keakuan dimana hal ini pada mereka merupakan syirik terbesar dan kekufuran teragung.


Ibu segala berhala adalah berhala jiwamu


Berhala lahir ini adalah ular dan berhala batin itu adalah naga.[15]


Ikhlas dalam ibadah orang-orang paling sempurna (kummal) adalah pemurnian campuran pandangan (rukyat) penghambaan dan ibadah, bahkan pemurnian pandangan terhadap keberadaan (rukyat kaun); sebagaimana Imam Khomeini Ra berkata, “Qalbu salim (jiwa yang suci) adalah bersua dengan Allah Swt dan padanya tiada sesuatu apa pun kecuali Allah Swt.”[16]


Penghambaan kepadanya lebih baik daripada kerajaan


Ucapan aku lebih baik adalah bisikan setan


Bedakan antara keduanya dan pilih di antara keduanya wahai yang terpenjara


Penghambaan Adam atau kepongahan Iblis


Dikatakan yang ada adalah mentari jalan menuju pada-Nya


Berita gembira bagi sesiapa yang menistakan dirinya


Siluet orang yang menistakan dirinya adalah tempat ketenangan


Tempat ketenangan itu adalah tempat bersenang-senang


Pabila engkau beranjak menuju bayangan egomu


Segera engkau menjadi durhaka dan tersesat jalanmu[17]



[1]. Imam Khomeini, Asrar al-Shalat, terjemahan Persia Parvâz dar Malakût, Pahri Sayid Ahmad, jil. 2, hal. 190.

[2]. Nahj al-Balaghah, hikmat 237; Ushul Kafi, jil. 2, hal. 84, hadits 5.

[3]. Sayid Muhamamd Damadi, Syarh bar Maqamat-e Arbain, hal. 125.

[4]. Misbah al-Syari’at, bab 100.

[5]. Syaikh Bahai, Arba’in.

[6]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwar, thab hurufi, Mathba’ Haidari, jil. 1, hal. 224, hadist 6.

[7]. Allamah Thaba-thaba’i, Tafsir al-Mizân, jil. 1, hal. 227.

[8]. Bihâr al-Anwâr al-Jâmi’a lidurar Akhbar al-Aimmah al-Athar, jil. 74, hal. 402; al-Hikmat al-Zhâhirah, terjemahan Anshari, hal. 488, hadits 1352.

[9]. Ilahi! Agar yekbâr guyi “bande-ye man”, az arsy guzarad “khande-ye man.”

[10]. Sayid Hasan Syirazi, KalimatuLlâh, hal. 140, no. 154.

[11]. Muhammadi Rei Syahri, Mizân al-Hikmah, jil. 6, riwayat No. 11317.

[12]. Sayid Muhammad Husain Husaini Tehrani, Anwâr al-Malakut, jil. 1, hal. 288.

[13]. Imam Khomeini, Sirr al-Shalat, Muassasah Tanzhim-e wa Nasyr-e Atsar-e Imam, hal. 89.

[14]. Ibid, hal. 75-76.

[15]. Jalaluddin Muhammad Rumi, Matsnawi Ma’nawi, daftar-e awwal, hal. 22.

[16]. Imam Khomeini, Op Cit, hal. 75

Menjadi Hamba Allah Sejati


By abdurrahman ⋅ April 7, 2014 ⋅ Post a comment
sumber web : http://manisnyaiman.com/menjadi-hamba-allah-sejati/

Penghambaan diri kepada Allah atau al-‘ubudiyyah adalah kedudukan manusia yang paling tinggi di sisi Allah . Karena dalam kedudukan ini, seorang manusia benar-benar menempatkan dirinya sebagai hamba Allah yang penuh dengan kekurangan, kelemahan dan ketergantungan kepada Rabb-nya, serta menempatkan dan mengagungkan Allah sebagai Rabb yang maha sempurna, maha kaya, maha tinggi dan maha perkasa.

Allah berfirman:

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ}

“Wahai manusia, kamulah yang bergantung dan butuh kepada Allah; sedangkan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa manusia pada zatnya butuh dan bergantung kepada Allah untuk memenuhi kebutuhan mereka lahir dan batin, dalam semua arti kebutuhan dan ketergantungan, baik itu disadari oleh mereka maupun tidak. Oleh karena itu, hamba-hamba Allah yang beriman dan selalu mendapat limpahan taufik-Nya, mereka selalu mempersaksikan ketergantungan dan kebutuhan ini dalam semua urusan dunia maupun agama. Maka mereka selalu merendahkan diri dan memohon dengan sungguh-sungguh agar Dia senantiasa menolong dan memudahkan segala urusan mereka, serta tidak menjadikan mereka bersandar kepada diri mereka sendiri meskipun hanya sekejap mata[1]. Mereka inilah yang selalu mendapatkan pertolongan dan limpahan taufik dari Allah [2].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Kesempurnaan makhluk (manusia) adalah dengan merealisasikan al-‘ubudiyyah (penghambaan diri) kepada Allah, dan semakin bertambah (kuat) realisasi penghambaan diri seorang hamba (kepada Allah ) maka semakin bertambah pula kesempurnaannya (kemuliaannya) dan semakin tinggi derajatnya (di sisi Allah ).

Dan barangsiapa yang menyangka (dengan keliru) bahwa seorang hamba bisa saja keluar dari penghambaan diri kepada Allah (tidak terkena kewajiban beribadah kepada Allah ) dalam satu sisi, atau (dia menyangka) bahwa keluar dari penghambaan diri itu lebih sempurna (utama), maka dia termasuk orang yang paling bodoh bahkan paling sesat”[3].



Makna dan hakikat al-‘ubudiyyah

al-‘Ubudiyyah (penghambaan diri) atau ibadah adalah sesuatu yang menghimpun rasa cinta yang sempurna disertai sikap merendahkan diri yang sempurna[4]. Maka tidaklah dikatakan suatu perbuatan sebagai ibadah atau penghambaan diri jika tidak disertai dua hal ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ibadah atau penghambaan diri mengandung kesempurnaan dan puncak kecintaan serta kesempurnaan dan puncak (sikap) Menghinakan (merendahkan diri). Sehingga sesuatu yang dicintai tapi tidak diagungkan dan merendahkan diri kepadanya maka tidaklah (disebut sebagai) sesembahan (sesuatu yang diibadahi). Sebagaimana sesuatu yang diagungkan tapi tidak dicintai maka tidaklah (disebut sebagai) sesembahan (sesuatu yang diibadahi). Oleh karena itu, Allah berfirman:

{ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ }

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” (QS al-Baqarah: 165)”[5].

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak ada jalan menuju (keridhaan) Allah yang lebih dekat dari (jalan) al-‘Ubudiyyah (penghambaan diri kepada Allah ) dan tidak ada hijab (penghalang menuju keridhaan-Nya) yang lebih tebal dari pengakuan (membanggakan dan kagum dengan diri sendiri). Penghambaan diri berporos pada dua patokan yang merupakan landasan al-‘Ubudiyyah, (yaitu) kecintaan yang utuh dan penghinaan diri yang sempurna (kepada Allah ).

Kedua lndasan ini tumbuhnya dari dua pokok utama, yaitu mempersaksikan (besarnya) anugrah dan kurunia (dari Allah bagi hamba-Nya, dalam memudahkan segala kebaikan dan melindungi dari semua keburukan), yang ini akan menumbuhkan rasa cinta (kepada Allah ), dan mempersaksikan (besarnya) kekurangan diri hamba dan ketidaksempurnaan amalnya, yang ini akan menimbulkan (sikap) merendahkan diri yang sempurna (kepada Allah )”[6].

Imam al-Qurthubi berkata: “Barangsiapa yang (selalu) taat dan beribadah kepada Allah, menyibukkan pendengaran, penglihatan, lisan dan hatinya dengan perintah-Nya, maka dialah yang paling berhak (mendapatkan) nama al-‘Ubudiyyah (hamba Allah sejati). Dan barangsiapa yang melakukan kebalikan dari (semua) itu, maka dia termasuk dalam firman Allah :

{أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ}

“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” (QS al-A’raaf: 179)[7].

Inilah kedudukan mulia yang diminta oleh Rasulullah kepada Allah dalam doa beliau : “Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, dan kumpulkanlah aku di dalam golongan orang-orang miskin pada hari kiamat”[8].

Arti “orang miskin” dalam hadits ini adalah orang yang selalu merendahkan diri, tunduk dan khusyu’ kepada Allah [9].

Inilah sifat yang menjadikan sempurna penghambaan diri manusia kepada Allah , bahkan inilah yang menjadikan bertingkat-tingkatnya kedudukan dan keutamaan manusia di sisi Allah . Sehingga seorang hamba yang kelihatannya banyak berbuat kebaikan dan amal shaleh tapi di dalam hatinya tidak terdapat hakikat penghambaan diri kepada Allah , bahkan sebaliknya, dia bersifat sombong, bangga diri dan lupa menisbatkan taufik kebaikan yang dikerjakannya kepada Allah , maka hamba ini adalah hamba yang buruk dan tidak diridhai oleh Allah .

Imam Ahmad menukil dari salah seorang ulama Salaf, bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada ulama ini: Sungguh aku melaksanakan shalat lalu aku menangis (tersedu-sedu) sampai-sampai hampir (bisa) tumbuh sayuran karena (derasnya) air mataku. Maka ulama inipun berkata kepadanya: “Sungguh jika kamu tertawa tapi kamu mengakui dosa-dosamu lebih baik dari pada kamu menangis tapi kamu menyebut-nyebut (membanggakan) amalmu, karena sesungguhnya shalat orang yang menyebut-nyebut (membanggakan amalnya) tidak akan naik ke atas (tidak diterima/diridhai Allah )”[10].

Inilah makna ucapan yang dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dari salah seorang ulama Salaf yang berkata: “Sungguh ada seorang hamba yang melakukan perbuatan dosa (tapi) karena dosa itu dia masuk Surga, dan ada seorang hamba (lain) yang melakukan kebaikan (tapi) karena kebaikan itu dia masuk Neraka”. Orang-orang bertanya (dengan keheranan): Bagaimana (itu bisa terjadi)?

Ulama tersebut berkata: “Hamba yang berbuat dosa, lalu (setelah itu) dosa tersebut selalu ada di hadapan kedua matanya karena dia takut (dan) khawatir (dirinya akan binasa), (maka dia selalu) menangis, menyesali (perbuatan dosa itu), merasa malu kepada Allah , menundukkan kepala di hadapan-Nya, dan merasa hatinya remuk di hadapan-Nya. Maka dosa (yang diperbuatnya) itu lebih bermanfaat bagi hamba ini dari pada banyak amal ketaatan, karena dampak yang muncul setelah itu berupa hal-hal (sikap takut dan merendahkan diri/ penghambaan diri yang sempurna) yang dengan itulah seorang hamba (meraih) kebahagiaan dan keberuntungan (di dunia dan akhirat). Sehingga dosa yang dilakukannya (justru) menjadi sebab dia masuk Surga.

Sedangkan hamba yang melakukan kebaikan, (tapi) setelah itu dia selalu menyebut-nyebut kebaikan tersebut di hadapan Allah, merasa saombong, bangga, merasa dirinya besar dengan kebaikan tersebut dan dia berkata: aku telah melakukan banyak kebaikan. Maka kebaikan tersebut (justru) menimbulkan (sifat) sombong, bangga diri dan angkuh yang menjadi sebab kebinasaannya (karena dia tidak merendahkan dirinya di hadapan Allah, padahal Dialah yang memudahkan bagi hamba tersebut untuk melakukan kebaikan itu”[11].



Orang yang paling sempurna penghambaan dirinya kepada Allah

Mereka adalah orang-orang yang mencintai Allah dengan utuh dan sempurna, sehingga mereka selalu bersegera dan berungguh-sungguh dalam mengerjakan amal shaleh dan mendekatkan diri kepada Allah , bersamaan dengan itu, mereka tetap menundukkan diri dan meyakini ketergantungan diri mereka kepada-Nya, dengan selalu berharap dan takut kepada-Nya.

Allah memuji para Nabi dan Rasul-Nya denga sifat ini dalam firman-Nya:

{إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ}

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdoa kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ (dalam beribadah)” (QS al-Anbiyaa’: 90).

Dalam ayat lain, Allah memuji hamba-hamba-Nya yang shaleh dalam firman-Nya:

{تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ}

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (karena mereka selalu mengerjakan ibadah dan shalat ketika manusia sedang tertidur di malam hari), sedang mereka berdoa kepada Allah dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka” (QS as-Sajdah: 16).

Juga tentang sifat-sifat mulia para Shahabat y dalam firman-Nya:

{مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا، سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ}

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia (para Shahabat y) bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda meraka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud” (QS al-Fath: 29).

Imam Mujahid dan beberapa ulama ahli tafsir lainnya berkata tentang makna “tanda-tanda pada wajah mereka” dalam ayat ini: “Yaitu Khusyu’ (dalam shalat) dan tawadhu’ (sikap merendahkan diri kepada Allah )”[12].

Inilah makna al-‘ubudiyyah al-khaashah (penghambaan diri yang khusus) yang dipuji oleh Allah dalam al-Qur-an, dengan mereka disebut sebagai ‘hamba Allah yang sejati’ dan digandengakan-Nya mereka dengan nama-Nya yang maha mulia, yang mana penggandengan ini mengandung arti “idha-fatu at-tasriif” (kemuliaan dan keagungan) bagi mereka[13].

Sebagaimana dalam firman Allah yang menyebut Nabi Muhammad sebagai hamba-Nya:

{سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ}

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad ) pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS al-Israa’: 1).

Juga firman-Nya:

{أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ}

“Bukankan Allah cukup untuk melindungi hamba-Nya (Nabi Muhammad )?” (QS az-Zumar: 36).

Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad adalah manusia yang paling sempurna dalam menunaikan penghambaan diri dan ketaatan kepada Allah [14].

Sebagaimana sifat ini juga yang Allah jadikan sebagai kemuliaan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa kepada-Nya[15] dalam firman-Nya:

{وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا. وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا}

“Dan hamba-hamba (Allah) Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri (melksanakan shalat malam) untuk Rabb mereka (Allah )” (QS al-Furqaan: 63-64).



Sombong dan membanggakan diri, perusak al-‘ubudiyyah

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud t bahwa Rasulullah bersabda: “Tidaklah masuk Surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan (meskipun) seberat biji debu”. Ada yang bertanya: (Wahai Rasulullah ), sesungguhnya (setiap) orang senang memakai baju yang bagus dan alas kaki yang indah. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan Dia mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran (karena congkak) dan merendahkan manusia”[16].

Hadits ini menunjukkan bahwa sifat sombong dan membanggakan diri merupakan sifat yang sangat tercela, bahkan bertentangan dengan sifat al-‘ubudiyyah yang hakikatnya adalah sikap merendahkan diri dan ketundukan yang sempurna kepada Allah .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Hakikat Islam adalah kepasrahan (dan ketundukan diri) seorang muslim (hanya) kepada Allah dan bukan kepada selain-Nya. Karena orang yang memasrahkan diri kepada Allah dan (juga) kepada selain-Nya (maka) dia adalah seorang musyrik (berbuat syirik/menyekutukan Allah ), sebagaimana orang yang menolak (agama) Islam (maka) dia adalah musyrik.

Inilah hakikat (agama) Islam yang diturunkan oleh Allah kepada para Rasul-Nya u dan dalam kitab-kitab-Nya. Yaitu kepasrahan (dan ketundukan diri) seorang hamba (hanya) kepada Allah dan bukan kepada selain-Nya. Maka orang yang memasrahkan diri kepada Allah dan (juga) kepada selain-Nya (maka) dia adalah seorang musyrik (berbuat syirik/menyekutukan Allah ), sebagaimana orang yang menolak (agama) Islam (maka) dia adalah orang yang menyombongkan diri.

Dalam hadits yang shahih dari Rasulullah (beliau bersabda) bahwa “Surga tidak akan dimasuki oleh orang yang dalam hatinya ada kesombongan (meskipun) seberat biji debu”[17]. Sebagaimana Neraka tidak akan dimasuki oleh orang yang dalam hatinya ada keimanan (meskipun) seberat biji debu. Maka (dalam hadits ini) Rasulullah menjadikan sifat sombong sebagai lawan dari keimanan, karena sesungguhnya sifat sombong itu meruntuhkan hakikat al-‘ubudiyyah (penghambaan diri seorang hamba). Sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Rasulullah bahwa beliau bersabda: Allah berfirman: “Keagungan adalah sarung-Ku dan kebesaran adalah selendang-Ku, maka barangsiapa melawan-Ku (dengan merasa memiliki) salah satu dari kedua sifat itu maka Aku akan mengazabnya”[18].

Maka sifat keagungan dan kebesaran termasuk sifat-sifat yang khusus (dalam) rububiyah Allah (sifat-sifat Allah, seperti menciptakan, mengatur dan menguasai alam semesta beserta isinya). Dan sifat kebesaran lebih tinggi dari sifat keagungan, oleh karena itu, sifat kebesaran dijadikan pada kedudukan selendang, sebagaimana sifat keagungan dijadikan pada kedudukan sarung[19].

Oleh karena itu, seorang hamba yang selalu merendahkan diri dan mengakui kelemahan serta kekurangan dirinya di hadapan Allah lebih baik dan lebih mulia dari pada seorang yang selalu membanggakan dirinya meskipun amal ibadahnya terlihat banyak.

Imam Mutharrif bin ‘Abdillah bin asy-Syikhkhiir berkata: “Sungguh jika aku tertidur di malam hari tapi aku (bangun) di pagi hari dalam keadaan menyesali (dosa-dosaku) lebih aku sukai dari pada aku berdiri (beribadah) di malam hari tapi ketika di pagi hari aku bangga (dengan diriku sendiri)”. Imam adz-Dzahabi menukil ucapan beliau ini, lalu beliau mengomentari: “Demi Allah, tidak akan beruntung orang yang menganggap dirinya suci atau bangga dengan dirinya sendiri”[20].



Penutup

Allah berfirman menjelaskan sifat hamba-hamba-Nya yang telah menyempurnakan sifat al-‘ubudiyyah sehingga mereka meraih predikat takwa kepada-Nya:

{تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ}

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS Al Qashash:83).

Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Jika mereka (orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini) tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, maka konsekwensinya (berarti) keinginan mereka (hanya) tertuju kepada Allah, tujuan mereka (hanya mempersiapkan bekal untuk) negeri akhirat, dan keadan mereka (sewaktu di dunia): selalu merendahkan diri kepada hamba-hamba Allah, serta selalu berpegang kepada kebenaran dan mengerjakan amal shaleh, mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan balasan akhir yang baik (surga dari Allah )”[21].

Semoga Allah memudahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketaatan kepada-Nya yang merupakan sebab keberuntungan kita di dunia dan akhirat, aamiin.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 10 Rabi’ul awal 1435 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni



[1] Sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah r dan ini termasuk doa yang dianjurkan untuk dibaca pada waktu pagi dan petang: “… (Ya Allah!) jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau membiarkan diriku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma) sekejap mata” HR an-Nasa-i (6/147) dan al-Hakim (no. 2000), dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahihah” (1/449, no. 227).

[2] Lihat keterangan Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di dalam “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 687).

[3] Kitab “al-‘Ubuudiyyah” (hal 57 – Tahqiiq: Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi, cet. Darul ashaalah).

[4] Lihat keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab “al-‘Ubuudiyyah” (hal. 94) dan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Thariiqul hijratain” (hal. 510).

[5] KItab “Majmu’ul fata-wa” (10/56).

[6] Kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 15 – cet. Dar al-kitab al-‘Arabi).

[7] Kitab “Tafsir al-Qurthubi” (13/67-68).

[8] HR at-Tirmidzi (4/577), Ibnu Majah (no. 4126) dan al-Hakim (4/358), dinyatakan shahih oleh imam al-Hakim, imam adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani.

[9] Lihat kitab “al-Khusyu’ fish shalaah” (hal. 34) dan “Tuhfatul ahwadzi” (7/16).

[10] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/89).

[11] Kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 13 – cet. Dar al-kitab al-‘Arabi).

[12] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (4/260).

[13] Lihat kitab “Mada-rijus saalikiin” (1/105), “at-Tahriir wat tanwiir” (hal. 3910) dan “fathul Majiid” (hal. 429).

[14] Lihat kitab “fathul Majiid” (hal. 41).

[15] Lihat kitab “Tafsir al-Qurthubi” (13/67).

[16] HSR Muslim (no. 91).

[17] HSR Muslim (no. 91).

[18] HR Abu Dawud (no. 4090) dan Ibnu Majah (no. 4174), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.

[19] KItab “al-‘Ubuudiyyah” (hal. 30).

[20] KItab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (4/190).

[21] Kitab “Taisiirul kariimir Rahmaan fi tafsiiri kalaamil Mannaan” (hal. 453).