Selasa, 07 Oktober 2014

Hakikat Ibadah Yg Benar!!

Sumber web : http://bagikmanis.blogspot.com/2013/04/hakikat-ibadah-yg-benar.html

MEMAHAMI PENGERTIAN IBADAH
Memahami tauhid tanpa memahami konsep
ibadah adalah mustahil. Oleh karena itu
mengetahuinya adalah sebuah keniscayaan.
Penulis syarah Al-Wajibat menjelaskan,
“Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri,
ketundukan
dan kepatuhan.” (Tanbihaat Mukhtasharah, hal. 28).
Adapun secara istilah syari’at, para ulama
memberikan beberapa definisi yang beraneka

ragam. Di antara definisi terbaik dan terlengkap
adalah yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala
sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik
berupa perkataan maupun perbuatan, yang
tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).
Maka shalat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur,
menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang
tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji,
memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang
munkar, berjihad melawan orang-orang kafir dan
munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak
yatim, orang miskin, ibnu sabil (orang yang
kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik kepada
orang atau hewan yang dijadikan sebagai pekerja,
memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al Qur’an
dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari
ibadah. Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat)
kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan)
hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan
(takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya,
merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal
kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih
sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain
sebagainya itu semua juga termasuk bagian dari
ibadah kepada Allah.” (Al ‘Ubudiyah, cet. Maktabah
Darul Balagh hal. 6).
Dari keterangan di atas kita bisa membagi ibadah
menjadi tiga; ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah
anggota badan. Dalam ibadah hati ada perkara-
perkara yang hukumnya wajib, ada yang sunnah,
ada yang mubah dan adapula yang makruh atau
haram. Dalam ibadah lisan juga demikian, ada
yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Begitu pula dalam ibadah anggota badan. Ada
yang yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan
haram. Sehingga apabila dijumlah ada 15 bagian.
Demikian kurang lebih kandungan keterangan Ibnul
Qayyim yang dinukil oleh Syaikh Abdurrahman
bin Hasan dalam Fathul Majid.
Ta’abbud dan Muta’abbad bih
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
rahimahullah di dalam kitabnya yang sangat bagus
berjudul Al Qaul Al Mufid menjelaskan bahwa
istilah ibadah bisa dimaksudkan untuk menamai
salah satu diantara dua perkara berikut:
1.Ta’abbud. Penghinaan diri dan ketundukan
kepada Allah ‘azza wa jalla. Hal ini dibuktikan
dengan melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan yang dilandasi kecintaan dan
pengagungan kepada Dzat yang memerintah dan
melarang (Allah ta’ala).
2. Muta’abbad bihi. Yaitu sarana yang digunakan
dalam menyembah Allah. Inilah pengertian ibadah
yang dimaksud dalam definisi Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, “Ibadah adalah suatu istilah yang
mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan
diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun
perbuatan, baik yang tersembunyi (batin) maupun
yang tampak (lahir)”.
Seperti contohnya sholat. Melaksanakan sholat
disebut ibadah karena ia termasuk bentuk ta’abbud
(menghinakan diri kepada Allah). Adapun segala
gerakan dan bacaan yang terdapat di dalam
rangkaian sholat itulah yang disebut muta’abbad
bihi. Maka apabila disebutkan kita harus
mengesakan Allah dalam beribadah itu artinya kita
harus benar-benar menghamba kepada Allah saja
dengan penuh perendahan diri yang dilandasi
kecintaan dan pengagungan kepada Allah dengan
melakukan tata cara ibadah yang disyari’atkan (Al-
Qaul Al- Mufid, I/7).
Pengertian ibadah secara lengkap
Dengan penjelasan di atas maka ibadah bisa
didefinisikan secara lengkap sebagai: ‘Perendahan
diri kepada Allah karena faktor kecintaan dan
pengagungan yaitu dengan cara melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-
larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan oleh
syari’at-Nya.’ (Syarh Tsalatsati Ushul, hal. 37).
Oleh sebab itu orang yang merendahkan diri
kepada Allah dengan cara melaksanakan keislaman
secara fisik namun tidak disertai dengan unsur
ruhani berupa rasa cinta kepada Allah dan
pengagungan kepada-Nya tidak disebut sebagai
hamba yang benar-benar beribadah kepada-Nya.
Hal itu seperti halnya perilaku orang-orang munafiq
yang secara lahir bersama umat Islam,
mengucapkan syahadat dan melakukan rukun
Islam yang lainnya akan tetapi hati mereka
menyimpan kedengkian dan permusuhan
terhadap ajaran Islam.
Macam-macam penghambaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
rahimahullah menjelaskan bahwa penghambaan
ada tiga macam:
Penghambaan umum.
Penghambaan khusus.
Penghambaan sangat khusus.
Penghambaan umum adalah penghambaan
terhadap sifat rububiyah Allah (berkuasa, mencipta,
mengatur, dsb). Penghambaan ini meliputi semua
makhluk. Penghambaan ini disebut juga ‘ubudiyah
kauniyah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi
melainkan pasti akan datang menemui Ar Rahman
sebagai hamba.” (QS. Maryam [19] : 93). Sehingga
orang-orang kafir pun termasuk hamba dalam
kategori ini.
Sedangkan penghambaan khusus ialah
penghambaan berupa ketaatan secara umum.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan hamba-
hamba Ar Rahman adalah orang-orang yang
berjalan di atas muka bumi dengan rendah
hati.” (QS. Al Furqan [25] : 63). Penghambaan ini
meliputi semua orang yang beribadah kepada Allah
dengan mengikuti syari’at-Nya.
Adapun penghambaan sangat khusus ialah
penghambaan para Rasul ‘alaihimush shalatu was
salam. Hal itu sebagaimana yang Allah firmankan
tentang Nuh ‘alaihissalam (yang artinya),
“Sesungguhnya dia adalah seorang hamba yang
pandai bersyukur.” (QS. Al Israa’ [17]: 3). Allah juga
berfirman tentang Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Dan apabila kalian
merasa ragu terhadap wahyu yang Kami turunkan
kepada hamba Kami (Muhammad)…” (QS. Al
Baqarah [2] : 23). Begitu pula pujian Allah kepada
para Rasul yang lain di dalam ayat-ayat yang lain.
penghambaan jenis kedua dan ketiga ini bisa juga
disebut ‘ubudiyah syar’iyah (Al-Qaul Al-Mufid I/16,
Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 38-39).
Di antara ketiga macam penghambaan ini, maka
yang terpuji hanyalah yang kedua dan ketiga.
Karena pada penghambaan yang pertama manusia
tidak melakukannya dengan sebab perbuatannya.
Walaupun peristiwa-peristiwa yang ada di dunia ini
(nikmat, musibah, dsb) yang menimpanya bisa
juga menyebabkan pujian dari Allah kepadanya.
Misalnya saja ketika seseorang memperoleh
kelapangan maka dia pun bersyukur. Atau apabila
dia tertimpa musibah maka dia bersabar. Adapun
penghambaan yang kedua dan ketiga jelas terpuji
karena ia terjadi berdasarkan hasil pilihan hamba
dan perbuatannya, bukan karena suatu sebab yang
berada di luar kekuasaannya semacam datangnya
musibah dan lain sebagainya (Syarh Tsalatsatil
Ushul, hal. 38-39).
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
(abumushlih.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar